Sabtu, 30 Januari 2010

That's what friends are for

Ada satu peristiwa menarik yang saya cermati beberapa bulan yang lalu namun lupa saya kupas.

Mengenai pandangan teman-teman mayoritas terhadap teman-teman minoritas.

Dimana eksistensi seorang teman dan perilakunya begitu meresahkan teman-teman saya yang lain.

Maka mereka merasa perlu untuk membicarakan tingkah lakunya di belakang, dengan langgam seolah mereka tidak berperan apapun terhadap pencitraan teman saya itu.

Lucu bagi saya.

Yang lucu bukan teman-teman saya itu.

Yang lucu adalah saya.

Saya yang mengaku menjadi seorang teman. Entah teman dia yang sedang digosipkan. Entah teman dari teman-teman yang sedang menggosipkan.

Teman yang sejatinya berlaku sebagai reminder. Pengingat. Alarm.

Teman yang pada hakikatnya berlaku dalam duka, apalagi dalam suka.

Dalam sedih, apalagi dalam senang.

Dalam lupa, apalagi dalam ingat.

Dalam kurang, apalagi dalam lebih.

Bukan teman yang di depan muka berlaku semanis madu, namun di belakang berlaku sepahit empedu.

Ah, apalah saya berhak berkomentar tentang apa itu definisi teman.

Saya bukan bukan sarjana filsafat yang pintar menyampaikan pikirannya menjadi kalimat-kalimat bertenaga.

Pun bukan sarjana komunikasi yang pintar merangkai kata menjadi kalimat penuh makna.

Saya hanyalah saya, yang melalui kacamata seorang manusia, mencoba memahami setiap gesekan waktu dengan ruang, menilai apa yang baik, apa yang buruk, apa yang putih, apa yang hitam, apa yang warna-warni dan apa yang abu-abu.

Sederhana.

Dan teman yang saya maksudkan dari tadi. Yang anda maksud juga saya yakin.

Adalah teman yang tidak membicarakan keburukan kita di belakang.

Namun membiarkan ia mengetahui apa yang menjadi kewajibannya kala ia mengaku menjadi manusia. Yaitu bahwa ia berada di tengah manusia juga, yang dengan itu terbebankan baginya suatu kewajiban untuk mengerti, untuk memahami, untuk mengalah sesekali, untuk mengorbankan sedikit kepentingannya demi kepentingan yang lebih besar, walau itu pahit.

Namun kala itu saya lupa, bahwa saya tidak seharusnya berada dalam forum utama.

Berada di tengah dan mengiyakan massa.

Bahwa saya seharusnya ada di sisinya, mengingatkannya, dan menjadikan ia sebagai manusia yang lebih baik.

Itu saya kira makna eksistensi seorang sahabat.

Rabu, 27 Januari 2010

Alienasi

Suatu hari konon si batin pernah berkata :
Saya ingin belajar fotografi,
tapi kemudian si akal sehat berkata:
Duh, kapan waktunya? masih banyak tanggung jawab ah..

Di lain waktu si batin berkata lagi :
Saya ingin belajar rafting,
Tapi si akal sehat berkata lagi :
Kapan? mau bolos poli?

Di waktu lain lagi, si batin berkata :
Saya ingin snorkeling dan diving di Sikuai
Si akal sehat lagi-lagi berkata :
Sekarang mau bolos kuliah?

Dan begitu seterusnya setiap kali si batin berkata, si akal sehat selalu datang mengambil alih dan menenggelamkan segala alibi si batin, menguasai ruang sadar dan logika, hingga si batin tertidur..

Sampai suatu ketika si batin terbangun, mengucek-ucek matanya dan menggeliat panjang, kemudian terheran-heran melihat si akal sehat dipenuhi luka di sekujur tubuh setelah berperang dengan waktu
"Apa yang terjadi denganmu? Siapa kamu ini?"
Akal sehat tertegun karena tidak dapat menjawab pertanyaan itu, hingga terduduk, sambil mengusap semua lukanya.
"Aku ini hanya akal sehat, yang menuruti tuntutan waktu, tuntutan zaman, tuntutan semua orang, dan tuntutan diriku sendiri, sampai ada luka di tubuhku, namun tiada yang peduli
Hingga luka itu busuk, mengering, melukai bagian lain, dan sampai saat ini aku hampir mati,
Bagaimana kalau kau mengambil alih kesadaran sampai aku sembuh?"

Si batin yang baik hati, kemudian menerima tugas itu, tapi ketika ia melihat si pemilik kesadaran, ia sudah tua, ringkih, tidak bisa melakukan apapun.
Yang tertinggal hanya penyesalan...
Kenapa tidak dari dulu?
Kenapa tidak ketika muda?
Kenapa tidak ketika sehat?